Tetap Dalam Jiwa
Apa yang kau rasakan jika seseorang telah tiada? Saat hanya
do’a yang bisa kita berikan padanya.
Tadi malam, saat aku menonton film “Searching”, ada sebuah moment dimana
seorang ibu telah meninggal, akupun hanya membayangkan bagaimana jika hal
tersebut terjadi pada ibuku?. Tentunya tak ada yang bisa dilakukan jika
takdirnya telah tiba. Maka yang bisa kulakukan sekarang adalah memanfaatkan
sebaik-baiknya moment saat bersama, begitu nasihatku pada diri agar tak
menyesal nantinya.
Tadinya aku mau menyelesaikan film
itu dalam sekali tontonan, soalnya kata adikku filmnya bagus banget, tetapi karena
dirasa telah mengantuk, dan kalaupun dipaksakan bakal gak fokus nontonnya,
akhirnya aku akhiri saja dan berniat melanjutkannya esok hari.
Pagi hari pun tiba, lagi-lagi aku
bangun dengan membatalkan janji pada diri untuk bangun lebih awal. Hmm... setan
memang selalu punya cara tuk menggoda. Atau.. akunya saja yang tak kuat menata
niat?
Singkat cerita, sekitar jam
setengah sebelas siang, ada Umi datang ke rumah. Beliau adalah uwaku, lebih
jelasnya ia adalah kakak perempuan dari ayahku, rumahnya sangat dekat dengan
rumah kami, dan entah kenapa, semua orang disini memanggil beliau dengan
sebutan Umi. Sebagaimana anak-anak beliau memanggilnya demikian.
Seperti biasa, jika ada orang
tua, pasti selalu diawali dengan ngobrol ngaler ngidul (ngobrol kesana kemari).
Awalnya Umi mengobrol dengan ibuku, karena saat Umi datang aku sedang mandi
(oopss.. ketauan mandinya siang). Lalu setelah ganti baju, akupun cepat-cepat
menghampiri beliau, khawatir lama menunggu, karena biasanya pasti meminta di
tensi (cek tekanan darah).
Akupun segera menghampiri dan
menensi Umi, sambil beliau tetap bercerita yang kadang takku pahami arti bahasanya,
karena banyak bahasa yang sunda banget (apa itu sunda banget >,<) dan
jarang aku dengar. Karena seringnya aku mengobrol dengan yang usianya tak jauh
beda denganku, sehingga kosa kata bahasa sundanya pun hanya itu-itu saja. Meski
masih lebih mending dibanding teman-temanku yang sehari-harinya berbicara
B.Indonesia.
Setelah beres menensi Umi, Umi
pun bercerita padaku bahwa beliau bermimpi sesuatu. Jadi, katanya di mimpi itu
Umi ditemui oleh almarhumah Emak (Ibu dari Umi dan Ayahku), katanya Emak
menanyakanku di mimpi tersebut. Saat mendengar hal itu, seketika hatiku merasa
bercampur aduk, antara sedih, terharu, bahagia. Bahagia karena marasa disayangi
dan diperhatikan, sedih karena sebenarnya aku gak terlalu mengingat masa-masa saat
Emak ada, karena usiaku masih sangat kecil ketika itu. Dan seketika mataku pun
berkaca-kaca.
Umi pun menceritakan apa saja
yang Emak katakan di mimpi, sambil beliau mencoba menerjemahkan maksud dari
perkataan Emak dan nasihat Emak. Biasanya, ketika orang tua bercerita seperti
itu, selalu tak lepas dari peribahasa, juga kata-kata serapan dari bahasa jawa,
begitupun dengan apa yang dikatakan Umi kepadaku.
Setelah selesai menceritakan mimpinya,Umi masih melanjutkan obrolan dan ceritanya tentang hal
lain. Dan di benakku masih terbayang-bayang tentang Emak, saat itu aku hanya
merasa bahwa, meski raganya tak ada, tapi jiwanya tetap terasa. Lalu.. aku
bertanya pada diriku, jika aku tiada, akankah jiwanya tetap terasa hidup, meski
raga nyata telah sirna?. Hmm.. mungkin ini makna dari ungkapan sekaligus judul lagu Isyana, tetap dalam jiwa.
Disisi lain, raga tak berarti jika tak ada ruh didalamnya, begitupun sebaliknya. Hmm.. yang pasti, apapun itu, aku harap raga dan jiwa kita bisa selalu bersama menuju kebaikan, agar kelak berkumpul kembali di hari kebangkitan. Ammin allahuma aamiin.
Komentar
Posting Komentar